Oleh: Zulfikar Alimuddin (Direktur HAFECS & GIBS)

Masih hangat diingatan kita kebijakan tentang sekolah 8 jam sehari yang akan diterapkan oleh Menteri Pendidikan nasional.  Sebelum itu, meski mungkin sebagian dari kita sudah melupakannya, dunia pendidikan nasional pernah diramaikan dengan penerapan kurikulum K13 pada tahun 2014 dan kemudian dibuat menjadi pilihan.

Yang tidak kalah ramai diperdebatkan dengan berbagai macam sudut pandang, dan juga kepentingan tentunya, adalah tentang penghapusan program akselerasi, kelas internasioanl dan sekolahsekolah unggulan yang dibiayai oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.

Semua ini tentu dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional sebagai salah satu tujuan utama transformasi Pendidikan nasional yang bermuara pada peningkatan kualitas peserta didik yang kemudian diharapkan membawa kemajuan bangsa melalui berbagai perubahan sikap positif dalam hidup (karakter), pengembangan daya saing yang bersumber pada khazanah ilmu.

Transfromasi memiliki makna dasar sebagai perubahan perlahan yang berkelanjutan sedemikian sehingga keadaan di masa depan akan lebih baik dari keadaan di masa sekarang (Nasution, 2009).

Sementara Pendidikan adalah proses pembinaan dan pengembangan kemampuan pikir dan sikap positif dengan peng- ayaan ilmu pengetahuan (Dalimunthe, 2017). Dua kata ini memiliki makna yang saling memperkokoh dan mempertajam makna perubahan dan apa yang ingin di- capai dari perubahan pada peserta didik.

Pertanyaan mendasar yang perlu kita pikirkan bersama adalah bagaimana setiap kebijakan dan/atau program yang diciptakan baik oleh pemerintah maupun sekolah akan berkontribusi pada proses transformasi Pendidikan tidak hanya aspek keterjangkauan yaitu seberapa banyak sekolah yang bisa menerapkan kebijakan tersebut dan seberapa mampu pemerintah menjalankan dan mengawasi pelaksanaan berbagai program atau kebijakan yang dijelaskan di atas.

Program sertifikasi guru mungkin bisa dievaluasi lebih dulu tentang daya pengaruh program tersebut bagi peningkatan performa guru di sekolah. Evaluasi mendalam tentang niatan pada setiap komponen program tersebut; artinya apakah program tersebut diniatkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru atau kemampuan guru. Setiap niatan perlu pendekatan berbeda pada pelaksanaannya; dan bila tidak, maka tidak satupun tujuan dari program tersebut bisa dirasakan oleh baik peserta didik, sekolah maupun bangsa secara keseluruhan. Kalaupun sebuah program memiliki beberapa komponen niatan, maka kita tahu bahwa proses pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi akan lebih rumit.

Lantas apakah ada alternatif lain yang bisa kita pikirkan tentang cara peningkatan kualitas Pendidikan di negeri ini? Berangkat dari konsep dasar sekolah sebagai tempat dimana orang tua mengirim anak-anaknya untuk mendapatkan penempaan pola pikir (kognisi), perluasan ilmu pengetahuan dan pembinaan sifat (karakter) dan sikap positif; serta fakta bahwa para gurulah yang berinteraksi paling dominan dengan siswa di sekolah termasuk pengembangan interaksi sesama siswa di kelas, maka peningkatan kualitas interaksi antara guru dan siswa perlu ditingkatkan.

Kata kunci dari konsep ini adalah interaksi, yang berarti kegiatan belajar-mengajar di kelas harus merupakan pola interaksi sosial yang positif bagi kedua belah pihak (guru dan siswa). Apa saja yang menjadi faktor-faktor keberhasilan sebuah interaksi sosial, bagaimana masing-masing pihak mengukur atau merasakan kebermanfaatan dari proses interaksi tersebut, dan bagaimana pihak lain yang berkepentingan akan mengukur tingkat keberhasilannya (pengelola sekolah, orang tua dan pemerintah serta masyarakat).

Dengan pendekatan interaksi ini, dan mengingat bahwa sekolah adalah tempat Pendidikan bagi anak-anak hingga remaja yang dipahami sebagai tahapan perkembangan manusia yang membutuhkan bimbingan dan arahan dalam memahami sesuatu yang baru (mengingat otak mereka masih dalam proses perkembangan), maka mau tidak mau guru sebagai aktor utama atau penanggung jawab utama atas penciptaan interaksi di kelas memerlukan kemampuan yang baik di berbagai aspek. Apa alat ukur sederhana yang bisa kita pakai secara kasat mata tentang keberhasilan proses interaksi ini? Apakah setiap siswa terlibat pada kegiatan di kelas? Apakah siswa memperhatikan guru di kelas tanpa sang guru memaksa mereka untuk memperhatikan? Berapa banyak guru yang berteriak berulang kali di kelas sepanjang masa interaksi ini hanya untuk meminta perhatian para siswa? Alih-alih mencari akar masalahnya, para guru kemudian diminta memberi semangat pada para siswanya dengan berbagai pendekatan yang kemudian gagal dan tetap diulang.

Contoh sederhana, pada beberapa kesempatan, saya mengobservasi pelaksanaan pengajaran di kelas 2 SD. Sang guru berulang kali berteriak meminta siswa duduk diam dan memperhatikan. Sang guru kurang paham, mungkin, bahwa pada kisaran umur 7-8 tahun, seorang anak memang cenderung bergerak dan melakukan apa yang menarik bagi mereka. Dua aspek terlanggar di sini. Pertama, sang anak telah ‘dirampas’ hak dasarnya, dan yang kedua, sang guru telah gagal menciptakan proses pembelajaran yang melibatkan keakftifan gerak anak.

Apakah belajar matematika harus dengan meminta siswa memperhatikan ke guru? Ataukah guru bisa meminta siswa melakukan kegiatan yang melibatkan pemahaman dasar konsep berhitung?

Contoh di atas terdengar sederhana dan mungkin kita remehkan. Namun jangan lupa, pengalaman pada pembelajaran seperti di atas bukan hanya membuat siswa tidak bisa memahami pelajaran pada saat itu (karena tidak mem- perhatikan), tapi juga telah memberikan trauma pada siswa baik pada segala sesuatu yang namanya ‘belajar’ dan juga pelajaran terkait pada saat kejadian. Apa dampak lanjutannya? Semua fenomena pembelajaran di banyak ruang kelas di negeri ini.

Dengan berbagai dimensi dan kejadian berbeda, kita saksikan kejadian serupa di berbagai tingkatan kelas, berbagai sekolah dan daerah di penjuru ne- geri.

Jadi bagaimana kita akan mentransformasi Pendidikan nasional kita? Bagi saya, pilihan untuk membangun kemampuan setiap guru adalah yang terpenting mengingat guru adalah actor utama di setiap kelas. Kepala sekolah boleh berganti, kepa-la dinas boleh mengganti kebijakan, Menteri memang punya kuasa; namun guru yang mumpuni akan selalu bisa mengelola interaksi kelas yang positif bagi para peserta didiknya.

Artikel ini telah dipublikasikan juga oleh :

 

 

 

 

Subscribe To Our Newsletter

Join our mailing list to receive the latest news and updates from our team.

You have Successfully Subscribed!

×

Kami siap membantu Anda

Selamat datang di Hafecs. Jika ada hal yang ingin ditanyakan terkait layanan kami, jangan sungkan untuk bertanya melalui call centre Hafecs di bawah melalui WhatsApp atau kirim email melalui halaman kontak kami
×